Hasil perhitungan suara pemilukada jawa barat memang belum dinyatakan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, namun berdasarkan hasil perhitungan suara Quick Count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survey telah menunjukan hasil sementara terhadap pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar yang unggul terhadap calon lainnya. Walaupun dari beberapa lembaga survey tersebut tingkat prosentase perolehan suara masing-masing calon sangat bervariasi.
Siapapun nantinya yang terpilih secara resmi tentunya tetap harus kita hormati, karena itu sudah menjadi pilihan rakyat jawa barat walaupun hanya berkisar 30 persen lebih suara rakyat jawa barat terutama yang diperoleh pasangan Aher-Deddy. Tentunya realita ini tetap tidak bisa dipungkiri bahwa rakyat jawa barat sudah menentukan pilihannya masing-masing, termasuk adanya beberapa analisa terhadap fakta ini, kita anggap saja beberapa pendapat tersebut, baik yang penuh dengan kesombongan, rasa percaya diri yang berlebihan serta beberapa sikap kontra dari semua pihak tentunya semua itu adalah bagian dari manis pahitnya bumbu masak pesta demokrasi pemilukada jawa barat 2013, Dan inti dari semua itu, tentunya kita harus tetap menghormati pilihan rakyat jawa barat terhadap calon pemimpinnya.
Katakan hasil resmi sudah di umumkan oleh KPU Jawa Barat dan perolehan masing-masing calon tidak berubah, Sehingga pasangan Ahmad Heryawan dan Dedi Mizwar tetap memperoleh kemenangan dan dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat periode 2013-2018, maka proses selanjutnya adalah bagaimana masyarakat Jawa Barat tinggal menanti dan mengawasi, apakah janji-janji kampanye Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar benar-benar dijalankan atau tidak.
Etika Politik dan Janji Kampanye
Janji manis calon kepala daerah ketika berkampanye memang terlihat sangat manis, namun berdasarkan pengalaman yang ada ada rasa manis itu terkadang berubah menjadi empedu ketika calon kepala daerah tersebut telah terpilih sebagai kepala daerah.
Mungkin kita sering mendengar ketika calon Kepala Daerah sedang berkampanye dan mereka sering mengumbar janji, misalnya biaya pendidikan dan kesehatan langsung digratiskan. Ada lagi pembangunan ini dan itu atau pemberdayaan ekonomi masyarakat, faktanya setelah mereka terpilih, janji-janji itu tidak dilaksanakan atau tidak mengubah apapun, kecuali harapan kosong dan ternyata janji-janji itu hanyalah bualan bagi orang yang mempunyai keinginan akan sesuatu dan ingin mencapai tujuan tertentu. Janji dijadikan sebagai alat transportasi menuju ambisinya dengan cara memanipulasi keindahan dengan menghidangkan harapan-harapan yang kosong namun penuh dengan kebohongan.
Sehingga janji kampanye yang tidak dilaksanakan oleh Kepala Daerah sudah tentu masuk dalam kategori pembohongan publik atau mengarah ke perbuatan tercela dan ini merupakan wujud nyata dari sebuah pelanggaran etika politik yang dilakukan oleh Kepala Daerah. Mungkinkah pelanggaran etika politik yang dilakukan oleh Kepala Daerah dalam konteks janji kampanye yang tidak dilaksanakan, nantinya bisa dilakukan impeachment atau pemakzulan layaknya kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh Aceng Fikri ? Dalam perspektif hukum tata negara, rakyat bisa menyampaikan Janji Kampanye Kepala Daerah itu kepada DPRD. Selanjutnya, DPRD bisa mempertanyakan ingkar janji itu kepada Kepala Daerah yang pada akhirnya akan bermuara pada impeachment atau pemakzulan seorang Kepala Daerah.
Bila mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang tahapan tata cara penyusunan, Pengendalian dan evaluasi Pelaksanaan Rencana pembangunan Daerah, bunyi pasal 6 hurup (c) mengatakan perencanaan pembangunan daerah menggunakan pendekatan politis, selanjutnya bunyi pasal 9 menyatakan bahwa pendekatan politis sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 hurup (c), bahwa program-program pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih pada saat kampanye, disusun dalam rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut sudah sangat jelas disampaikan bahwa janji kampanye yang dilakukan oleh calon kepala daerah terpilih dikenai kewajiban untuk menuangkan janji-janjinya itu dalam peraturan daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Maka melalui Peraturan Daerah (perda) ini rakyat dan DPRD dapat terus menagih janji kepala daerah terpilih tersebut. Sehingga melalui Perda itu dapat menjadi dasar bagi masyarakat dan DPRD untuk menilai kinerja kepala daerah. Kalau masyarakat merasa tidak puas atas kinerja Kepala Daerah, Perda itu juga dapat jadi dasar untuk mengajukan mosi tidak percaya kepada Kepala Daerah. Akibat selanjutnya bisa berujung pada diturunkannya kepala daerah itu dari jabatannya.
Secara konstitusional ketentuan mengenai pemakzulan kepala daerah memang sudah diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ada tiga hal yang menjadi dasar bagi pemakzulan kepala daerah yakni perbuatan kriminal, pengkhianatan dan perbuatan tercela. Dalam ketentuan itu juga diatur mekanisme dan tata cara pemberhentian kepala daerah, baik melalui peran DPRD maupun tindakan langsung yang dilakukan oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD.
Mari kita lihat contoh dua pengalaman kasus pemakzulan yang dilakukan oleh DPRD terhadap kepala daerah, yang pertama adalah kasus pemakzulan DPRD Kota Surabaya terhadap Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan kedua kasus pemakzulan terhadap Bupati Garut Aceng Fikri. Pemakzulan DPRD terhadap Walikota Surabaya, dengan alasan Walikota dinilai telah melanggar Peraturan Walikota No. 56 dan 57 tentang nilai sewa reklame. DPRD Surabaya akan menggunakan hak menyatakan pendapatnya untuk menentukan apakah sang walikota akan dinonaktifkan atau tidak yang selanjutnya akan diajukan ke Mahkmah Agung.
Sesuai pasal 29 ayat 4 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Mahkamah Agung berwenang memutus pendapat DPRD atas pemberhentian kepala daerah yang diusulkan jika kepala daerah dinilai melanggar sumpah/janji jabatan dan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Selanjutnya, putusan usul pemberhentian itu disampaikan kepada presiden dan memprosesnya paling lambat 30 hari sejak DPRD menyampaikan usul itu. Namun Pemakzulan terhadap walikota Surabaya akhirnya gagal karena tidak cukup dasar dan tidak memenuhi kriteria persyaratan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pemakzulan kedua terjadi pada kasus pelanggaran etika yang telah dilakukan oleh Bupati Garut, setelah mendapat tekanan hebat dari publik, akhirnya DPRD Garut membentuk pansus untuk melakukan investigasi terhadap adanya dugaan pelanggaran etika, tak lama kemudian hasil pansus di putuskan dalam sidang paripurna dan keputusan sidang paripurna DPRD Garut memutuskan bahwa Bupati Aceng Fikri telah melanggar etika, perundang-undangan dan sumpah jabatan akibat skandal nikah siri Aceng dengan Fany Oktora yang hanya berumur 4 hari karena dianggap sudah tidak perawan. Selanjutnya DPRD Garut membuat surat permohonan kepada Mahkamah Agung, tak lama kemudian surat permohonan dari DPRD itu akhirnya dikabulkan oleh mahkmah Agung.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam mengabulkan Permohonan DPRD Kabupaten Garut di antaranya karena dalam kasus perkawinan, posisi termohon dalam jabatan sebagai bupati tidak dapat dipisahkan atau dikotomi antara posisi pribadi di satu pihak dengan posisi jabatannya selaku Bupati Garut di lain pihak. Sebab dalam perkawinan, jabatan tersebut tetap melekat dalam diri pribadi yang bersangkutan. Oleh karena itu, perilaku pejabat tetap harus dijaga sesuai dengan sumpah jabatan yang telah diucapkan.
Dengan dikabulkannya permohonan DPRD Garut oleh Mahkamah Agung, maka langkah berikutnya tinggal menunggu eksekusi dari DPRD Kabupaten Garut agar pemakzulan ini bisa segera dilaksanakan melalui sidang paripurna DPRD dan putusannya disampaikan kemendagri selanjutnya tinggal menunggu penetapan pemberhentian bupati yang akan dilakukan oleh presiden. Melalui penetapan ini maka berakhirlah sudah drama panjang kasus pelanggaran etika yang telah dilakukan oleh Bupati Garut Aceng Fikri, sehingga inilah pertama kali dalam sejarah Indonesia, seorang pejabat bupati atas nama etika diberhentikan hanya karena gara-gara urusan ranjang.
Kasus pemakzulan yang dilakukan oleh DPRD, baik Kota Surabaya maupun Kabupaten Garut, secara tidak langsung telah memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, lepas dari gagal atau tidaknya pemakzulan tersebut, ada intisari yang bisa diambil hikmahnya yakni terbukti bilamana kepala daerah telah melanggar kewajibannya selaku kepala daerah maka dimungkinkan bagi rakyat untuk melakukan gugatan mosi tidak percaya yang disampaikan melalui mekanisme lembaga perwakilan rakyat (DPRD).
Lalu bagaimana dengan janji kampanye Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar, walaupun masih terlalu dini untuk diungkapkan namun setidaknya kita juga perlu menganalisa, sampai sejauh mana kira-kira janji tersebut apakah dapat dilaksanakan atau tidak. Karena janji kampanye yang disampaikan oleh Ahmad Heryawan dan Dedi Mizwar bila benar-benar dilaksanakan tentu akan berdampak positif bagi masyarakat namun bila ternyata janji tersebut hanya omong kosong saja, tentu banyak resiko yang harus ditanggung oleh kedua pasangan tersebut.
Lihat saja selama masa kampanye yang didukung iklan di televisi secara masif, Aher-Deddy setidaknya menyampaikan tiga janji yang berhasil menarik hati pemilih. Pertama akan menyediakan dua juta lapangan kerja, artinya Aher-Deddy harus membuka investasi besar-besaran di Jabar untuk mewujudkan janjinya.
Kedua, Aher juga berjanji menyediakan pendidikan gratis sampai SMA. Janji ini cukup berat karena Aher harus bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah tingkat dua (kabupaten/kota) di Jabar.
Ketiga, Aher akan membenahi infrastruktur di Jabar, bahkan menjanjikan akan membangun gedung kesenian di tiap daerah tingkat dua. "Setidaknya tiga janji itulah yang harus ditagih masyarakat. Masyarakat harus berani menagihnya dan bila mereka mengingkari janjin maka jalan pemakzulan terbuka lebar.
Sekedar contoh saja, ketika mendengar salah satu janji kampanye Ahmad Heryawan yang optimis dan bukan sekedar janji buta terkait dengan pembebasan biaya pendidikan gratis bagi siswa-siswa SLTA se Jawa Barat tentunya janji ini patut diragukan bisa terlaksana dengan baik, Jangankan bicara Jawa Barat dengan jumlah penduduk terbesar se Indonesia yang tersebar di 26 kabupaten dan kota, untuk wilayah yang lebih kecil saja terkadang janji biaya pendidikan gratis bagi siswa-siswi SLTA jauh panggang dari api.
Misalkan janji manis Walikota Depok ketika kampanye tahun 2010 yang mengusung delapan program unggulan salah satunya biaya pendidikan SLTA gratis, namun faktanya saat ini ketika Walikota Depok sudah memasuki masa jabatannya selama dua setengah tahun, tetap saja biaya pendidikan SLTA tidak gratis. Belum janji-janji manis yang lain sampai saat ini belum terlihat hasilnya.
Padahal Kota Depok adalah pintu gerbang jawa Barat yang berbatasan langsung dengan ibukota Jakarta, dipimpin oleh seorang walikota bernama Nur Mahmudi Ismail yang kebetulan satu kolega pada satu gerbong partai yang sama dengan Ahmad Heryawan Gubernur Jawa Barat.
Bila melihat salah satu contoh janji kampanye Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar yang diduga sangat meragukan itu, tentunya masyarakat punya hak untuk menagih janjinya apalagi kalau masyarakat merasa tidak puas atas kinerja Gubernur, tentunya masyarakat bisa mengajukan mosi tidak percaya kepada Gubernur Jawa barat. Akibat selanjutnya bisa berujung pada diturunkannya Gubernur Jawa barat dari jabatannya. Itu pun kalau DPRD Propinsi Jawa Barat mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat dan mempunyai keberanian untuk berbuat yang terbaik bagi rakyat, karena tanpa peran serta DPRD, mustahil mosi tidak percaya masyarakat ini bisa terwujud.
Sebenarnya ada dua watak binatang yang terselip pada setiap insan politik yakni Merpati dan Ular. Seorang politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme, namun seorang politisi juga mempunyai watak seperti ular yang licik dan jahat serta selalu berupaya untuk memangsa merpati, konyolnya yang sering menonjol pada watak seorang politisi justru sisi ular ketimbang watak merpatinya. Sehingga untuk mencapai tujuan atau untuk mendapatkan jabatan etika politik sering diabaikan.
Layaknya merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealismenya, mampukah DPRD Propinsi Jawa Barat menjalankan fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat dan menerima mosi tidak percaya rakyat terhadap Gubernurnya, waktulah nanti yang akan membuktikan.
Berita Terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar