Insiden penyerbuan LP Cebongan, Sleman, Yogjakarta dilakukan pada Sabtu (23/03) dini hari yang kemudian menewaskan 4 tahanan pelaku pengeroyokan Serka Heru Santoso. Empat tahanan LP Cebongan yang tewas ditembak di tempat antara lain, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu, Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan Manbait.
Keempat tahanan itu diketahui sebagai desertir anggota kesatuan Kepolisian Resor Kota Besar Yogyakarta. Dikabarkan, keempat tahanan itu juga memiliki jejaring preman yang disegani di lingkungan Yogjakarta. Sebelum kabur, pelaku penyerbuan LP Cebongan sempat membawa rekaman CCTV. Penyerbuan itu hanya berlangsung 15 menit.
Wakil Danpuspom TNI AD Brigjen Unggul K Yudhoyono, yang juga ketua Tim Investigasi Kasus Penyerangan LP Cebongan, Sleman, Yogjakarta, menjelaskan, motif pelaku ini diduga kuat terkait peristiwa sebelumnya.
Antara lain, terang Unggul, pembunuhan terhadap Serka Heru Santoso di Hugo's Cafe Sleman Yogjakarta, Rabu (19/03). Kemudian pengeroyokan dan pembacokan terhadap Anggota Kopassus Sertu Sriyono, Kamis (20/03) oleh kelompok preman di Yogjakarta saat melerai perkelahian di Jl Dr Soetomo.
Disinyalir, Sertu Sriyono tewas dikeroyok oleh rekan penghuni tahanan LP Cebongan. Pelaku penyerbuan merasa memiliki hubungan khusus dengan dua rekannya yang tewas dikeroyok. Serka Heru Santoso merupakan pejabat Bintara Peleton Kopassus yang diketahui adalah atasan pelaku dan pernah berjasa menyelamatkan pelaku saat melaksanakan tugas operasi. Sedangkan Sertu Sriyono adalah mantan Kopassus yang notabene merupakan rekan pelaku saat latihan komando.
Unggul menegaskan, motif pelaku penyerbuan dilatari oleh tewasnya Serka Heru Santoso dan Sertu Sriyono. "Dilatarbelakangi pembunuhan secara sadis dan brutal oleh kelompok preman," jelas Unggul saat menggelar jumpa pers di Dispenad, Kartika Media Center, Jl Abdurahman Saleh, Jakpus, Kamis (4/04).
"Peristiwa tersebut dilatarbelakangi jiwa korsa yang kuat di mana jiwa korsa merupakan roh setiap kesatuan militer. Namun, diakui kegiatan serangan ke Lapas II Cebongan adalah penerapan jiwa korsa yang tidak tepat," sambung Unggul melanjutkan alasan pelaku penyerbuan.
Sepintas, Aksi Penyerbuan LP Cebongan ini mirip film 'The Punisher' yang membalas kematian keluarganya yang tewas dieksekusi mati kelompok mafia. Pengalamannya sebagai prajurit, dan berbekal kemampuan teknis, taktik perang, Frank Castle membalas tindakan begundal mafia seorang diri.
Dalam perspektif Frank Castle, aksi kekerasan, ancaman, penyiksaan dan pembunuhan merupakan taktik yang bisa diterima untuk memerangi kejahatan. Tak terkecuali kejahatan kelompok mafia yang dapat 'membeli' oknum aparat penegak hukum. Walau tidak mempunyai kekuatan politik, Frank Castle berhasil membalas kematian keluarganya.
Aksi vigilante (main hakim sendiri) menjadi fenomena jamak di Indonesia. Pasalnya, aparat maupun institusi penegak hukum dinilai tidak (belum) mampu memberi jaminan keamanan dan keadilan. Walhasil, pelaku bergerak dengan nalarnya sendiri.
Insiden penyerbuan LP Cebongan merupakan pelajaran mahal yang seharusnya dapat ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum untuk membangun supremasi hukum seadil-adilnya.
Seperti yang diungkapkan Frank Castle setelah melakukan aksinya. "In certain extreme situation, the law is inadequate. In order to shame it's inadequacy, it is necessary to act outside the law. To pursue..natural justice. This is not vengeance. Revenge is not a valid motive. It’s an emotional response. No, not vengeance..PUNISHMENT".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar