Bagi warga Kota Depok yang sering melintas jalan boulevard kota kembang tentu sudah tidak asing lagi dengan kalimat judul diatas, karena diantara deretan ruko-ruko yang ada disepanjang jalan boulevard, ada sebuah ruko yang lokasinya tidak jauh dari kantor dinas pemadam kebakaran Kota Depok. Didepan ruko tersebut terpasang sebuah spanduk besar dengan judul “Pusat Rehabilitasi Politik Kancil Pilek”
Kalau kita bicara tentang arti kata rehabilitasi tentu erat kaitannya dengan pemulihan keadaan agar menjadi lebih baik, misalkan rehabilitasi narkoba yang tujuannya agar para pengguna narkoba dapat hidup normal kembali dan supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat.
Lalu apa kaitannya keberadaan ruko yang memasang spanduk “Pusat Rehabilitasi Politik Kancil Pilek”, tak lain dan tak bukan, kata-kata di spanduk tersebut ternyata mengandung arti yang sangat dalam dan bermakna luas.
Kata-kata sindiran tersebut, ditujukan pada sosok Nur Mahmudi Ismail yang menjabat sebagai Walikota Depok, Makna dari kata tersebut merupakan sindiran bagi seorang Nur Mahmudi Ismail yang diibaratkan bagaikan seekor binatang kancil yang licik dan sedang Pilek akibat berlarut-larutnya proses penegakan hukum kasus pemilukada Kota Depok tahun 2010 yang masih menimbulkan masalah, saat ini proses hukum tersebut memang tinggal menunggu putusan dari Mahkamah Agung apakah pemilukada Kota Depok diulang atau tidak.
Bukan hanya masalah pemilukada, sosok kancil itu juga merupakan gambaran seorang Nur Mahmudi Ismail yang konon katanya cerdas dan peduli tetapi faktanya, selama beliau menjabat sebagai Walikota Depok tidak ada perubahan yang berarti, Kota Depok bagaikan Auto Pilot tanpa perencanaan yang matang. Lihat saja selama dua tahun berturut-turut, Kota Depok telah menyandang predikat sebagai Kota dengan pelayanan publik terburuk se Indonesia berdasarkan hasil survei indeks integritas sektor pelayanan publik yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan korupsi (KPK).
Prestasi Kota Depok dua tahun berturut-turut sebagai Kota dengan pelayanan publik terburuk se Indonesia, tentunya membuat masyarakat Kota Depok sangat kecewa, malu dan menimbulkan tanda tanya, mengapa kota dengan ikon belimbingnya ini mendapat predikat yang sangat memalukan, apalagi seorang penguasa wilayah berasal dari partai yang selama ini mengusung jargon cerdas, bersih dan peduli. Lalu apa artinya jargon omong kosong ini, kalau mengurus kota dengan penduduk yang heterogen ini, ternyata tidak mampu dijalankan oleh sang penguasa wilayah.
Begitu juga dengan tata kelola pemerintahan, slogan reformasi birokrasi jalan ditempat dan hanya omong kosong saja, pelayanan publik yang buruk adalah satu contoh bagaimana fungsi birokrat yang seharusnya melayani masyarakat malah yang terjadi sebaliknya, apalagi cara pemutasian birokrat yang cenderung lebih mengedepankan kata sepaham dalam konteks kepentingan kelompoknya saja. Anehnya saat ini di Kota Depok banyak guru-guru menjadi lurah atau dipindah ke dinas yang tidak sesuai dengan latar belakangnya, padahal yang namanya guru itu kan jabatan fungsional bukan struktural.
Kondisi birokrasi di Kota Depok memang sangat mengenaskan, para birokrat seperti orang yang kurang darah, lesu dan pucat, hingga mereka kerja semaunya saja, karena mereka berpikir, Walikota juga sering berbuat semaunya, bahasa kasarnya suka-suka gue.
Semua ini terjadi bukan tanpa sebab, proses pemutasian yang tidak benar sebagai penyebabnya, Karena selama ini proses mutasi birokrat yang telah berjalan baik melalui Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) sudah berubah fungsi menjadi Baperjenggot atau kedekatan para oknum kader jenggot yang sering melakukan tekanan pada birokrat yang tidak sepaham karena tidak memberikan sesuatu bagi kepentingan kelompoknya dan bagi yang tidak sepaham jangan harap prestasi atau karir mereka akan lancar.
Masalah pembangunan pun sama saja setali tiga uang, misalkan setiap tahun selalu ada saja kegiatan pembangunan sekolah yang di cut off dan kondisi bangunan sekolahnya pun sama persis dibuat asal-asalan, konyolnya perusahaan yang melakukan kegiatan tersebut sampai hari ini tetap adem ayem saja tanpa mendapat sanksi yang tegas ? begitu juga pejabat dibidangnya pun tetap dibiarkan dan tidak diberi teguran yang berarti, alasannya karena tidak ada sumber daya manusia ? padahal masih banyak pejabat-pejabat Kota Depok yang punya potensi untuk berbuat yang lebih baik, mereka tersingkirkan hanya karena dianggap tidak sepaham ? Ada apa dibalik semua ini, apakah mereka masih tetap mempertahankan pejabat yang dianggap sepaham bila faktanya orang-orang yang dianggap sepaham itu bermasalah.
Masih banyak sebenarnya kondisi memprihatinkan yang terjadi di Kota Depok di bawah pimpinan Nur Mahmudi Ismail, seharusnya sebagai mantan menteri dan presiden pertama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nur Mahmudi Ismail seharusnya cukup memahami tentang kebijakan apa yang harus dilakukan untuk membangun sebuah Kota dengan posisi geografis yang strategis sebagai pintu gerbang propinsi Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Jakarta serta dengan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar tetapi belum ada hasil yang bisa dirasakan bagi kesejahteraan masyarakatnya.
Melihat kondisi ini tentunya keberadaan Pusat Rehabilitasi Politik Kancil Pilek memang sangat tepat untuk segera melakukan terapi khusus pada Nur Mahmudi Ismail agar dapat melakukan perubahan yang berarti bagi masyarakat Kota Depok, mungkinkah itu akan terjadi ? Sepertinya sangat tidak mungkin karena Nur Mahmudi Ismail tentunya tetap tidak akan mau masuk “Pusat Rehabilitasi Politik Kancil Pilek”
Berita Terkait :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar